Jumat, 27 November 2009

Mengapa Jatuh

Kenapa bisa jatuh?
Karena tidak awas, lengah.

Mengapa bisa lengah?
Karena tidak perhatian.

Mengapa tidak perhatian?
Karena pikiran selalu tertuju ke diri sendiri.

Mengapa pikiran selalu tertuju ke diri sendiri?
Karena terlalu cinta diri.
Karena terlalu cemas untuk diri sendiri.

Ujung-ujungnya kita jatuh karena terlalu memusatkan hati dan pikiran untuk diri sendiri.

Saat punya sepeda, kita iri dengan yang punya motor.
Saat punya motor, kita iri dengan yang punya mobil dan meremehkan yang punya sepeda.
Saat punya mobil, kita iri dengan yang punya mobil mewah dan tidak ingat susahnya orang yang hanya naik motor dan sepeda bahkan naik angkot dan jalan kaki.

Saat nganggur, kita iri dengan yang sudah bekerja.
Saat sudah bekerja, kita iri dengan yang bergaji besar.
Saat sudah bergaji besar, kita mengeluh keletihan dan meremehkan pegawai rendahan.
Saat sudah jadi bos, kita bergaya hidup lebih seperti konglomerat, dan menganggap karyawan adalah beban.

Saat di bawah kita jatuh akibat iri dengki.
Saat di atas kita jatuh akibat sombong hati.
Sayangnya tidak ada manusia di posisi tengah.

Manusia sejatinya selalu dalam posisi menanjak.
Kala kita memiliki sepeda, kita lebih atas daripada mereka yang naik angkot.
Kala kita hanya bisa kontrak rumah, kita lebih atas daripada mereka yang harus ketakutan rumahnya digusur akibat rumah gubuk.
Kala kita memiliki motor, kita melihat mereka yang memiliki mobil sebagai pijakan untuk maju.
Kala kita memiliki rumah, kita melihat mereka yang memiliki gedung sebagai motivasi untuk berkembang.

Setiap menusia wajib dan berhak untuk melangkah lebih maju, melangkah melalui tanjakan hingga ke puncak.

Saat menuju puncak terbersit rasa bangga mampu melangkah setara dengan batas langit. Saat menuju kedigjayaan, percaya diri akan semakin kuat.

Saat di puncak selalu ada rasa ingin melalui puncak tanpa menyadari jika batas ketinggian yang diraih sudah maksimal dengan segala kondisi udara yang mampu ia hirup.

Saat menuju ketinggian kita menikmati kencang dan dinginnya angin yang melenakan, pemandangan yang menakjubkan, hingga kita lengah. Lengah yang akhirnya membuat diri terperosok lebih jauh akibat jarak tanah dan langit yang sudah terlalu besar.

Saat menuju ketinggian seringkali kita abaikan rasa syukur dapat menghadapi masalah-masalah yang kita hadapi kala menanjak.

Saat meraih ketinggian kita seringkali mengeluh karena beban yang berat.

Saat berjalan ke arah yang lebih tinggi terkadang kita melupakan bahwa masih banyak rekan-rekan yang masih di belakang kita untuk terus dibantu. Termasuk melupakan mereka yang di belakang kita yang turut mendorong kita untuk terus maju ke depan.

Saat menuju ketinggian seringkali bukan FOKUS TUJUAN yang dilihat, tetapi FOKUS DIRI SENDIRI yang diutamakan.

Saat berfokus kepada diri sendiri, kita akan letih karena merasa tidak mampu meneruskannya lagi. Atau juga kita akan terlalu bangga karena merasa telah menjadi seseorang yang kuat dan hebat di atas puncak. Kedua perasaan ini kemudian akan berakhir pada kejatuhan yang amat menyakitkan.

Namun bila kita berfokus kepada tujuan, kita dapat mengenal cara mengatasi medan masalah dengan semangat tanpa mengenal kata menyerah. Jalan kita mungkin sedikit terhambat akibat harus menancapkan paku pada batu cadas sebagai pijakan. Tetapi usaha yang memakan waktu tersebut akan membantu kita mencapai puncak dengan lebih mudah. Sejatinya berfokus kepada tujuan yang hendak dicapai berarti secara tidak langsung kita sudah menggenapi niat tulus kita yang terdalam yang diarahkan oleh-Nya.

Mari kita melangkah ke tempat yang lebih tinggi dalam hidup kita dengan tidak menjadi lengah ketika mencapainya.

Terinspirasi dari kutipan :
Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!

Femi Khirana

0 komentar:

Posting Komentar