Senin, 07 Desember 2009

Cerita - Cerita Sufi

" Awasilah Tiang Pancangmu! "

Syahdan, iblis pernah mengeluh, “Sungguh tidak adil. Apapun yang dilakukan manusia, hal buruk apapun yang terjadi,

mereka selalu menyalahkan aku. Memangnya apa salahku? Aku ‘kan tak bersalah. Mari kutunjukkan padamu bagaimana

mereka selalu menyalahkan aku atas semua kejelekan yang pernah terjadi.” Iblis pun lalu bercerita;
Ada seekor domba jantan yang diikatkan dengan tali ke sebilah tiang pancang. Iblis melonggarkan pancang itu sedikit

dari tanah dan berkata, “Lihat, hanya inilah yang kulakukan.”
Domba itu menggoyang-goyangkan kepalanya, lalu menyentakkan pancang tadi sampai tercabut dari tanah. Pintu pemilik

rumah saat itu sedang terbuka dan pada salah satu dinding ruang tamu terpasang sebuah cermin antik yang besar dan

indah. Kambing itu melihat bayangan dirinya sendiri di cermin itu. Ia merendahkan kepalanya, mengambil ancang-

ancang, dan menyeruduk bayangan domba yang ada di cermin itu. Dan hancurlah cermin itu berkeping-keping.
Nyonya rumah yang terkejut, berlari menuruni tangga dan melihat cermin antiknya yang indah itu jatuh berantakan.

Cermin itu ialah warisan keluarganya turun-temurun. Segera ia menjerit dan memanggil para pelayannya, “Potong leher

domba itu, sembelih saja!” Para pelayannya segera menyembelih domba jantan itu.
Domba itu adalah peliharaan kesayangan suaminya. Ia membesarkannya sendiri dari kecil. Ketika pulang kerja, ia

mendapati domba kesayangannya telah mati disembelih. Ia pun berteriak, “Siapa yang telah menyembelih dombaku? Siapa

yang berani melakukan hal sekeji itu?”
Istrinya balas membentak, “Aku yang menyembelihnya. Aku yang memotongnya karena ia telah menghancurkan cermin antik

warisan dari orang tuaku.”
Suaminya yang sedang meradang itu berkata, “Kalau begitu, kuceraikan kau sekarang juga!”
Kepada kerabat perempuan itu, para tetangga bergunjing bahwa perempuan itu diceraikan suaminya hanya karena

memotong seekor domba. Saudara-saudara perempuan itu menjadi sangat marah. Segera mereka mengumpulkan seluruh sanak

saudara dan mencari sang suami dengan membawa berbagai macam senjata.
Suami itu yang telah mendengar kedatangan mereka segera pula memanggil sanak saudaranya sendiri untuk membelanya.

Kedua keluarga besar iru pun memulai peperangan dan mengakibatkan jatuh banyak korban terbunuh dan rumah terbakar.
Sang Iblis berkata, “Lihatlah sendiri. Sebenarnya apa yang kukerjakan? Aku ‘kan hanya sedikit melonggarkan tiang

pancang kecil itu saja, mengapa aku harus bertanggung jawab atas semua hal buruk yang mereka lakukan satu sama

lain. Yang aku lakukan hanyalah sedikit saja melonggarkan sebatang tiang pancang!”
Awasilah tiang pancangmu!

Dari buku “Meraih Kunci Surga”, Ama Salman, 2007


====================================================================


" Tawa Menuju Tuhan "

Al kisah setelah kehilangan keledainya, Mulla lalu mengangkat kedua tangannya, ia bersyukur kepada Tuhan. “Tuhan

aku bersyukur kepada-Mu, aku telah kehilangan keledaiku.”

Seorang yang melihat dan mendengar doa Mulla bertanya, “Kamu kehilangan keledaimu, dan kamu bersyukur kepada

Tuhan?”

“Aku bersyukur kepada-Nya atas kebijakan-Nya yang mentakdirkan bahwa aku tidak menunggangi keledai waktu itu. Kalau

tidak, sekarang aku tentu hilang juga.”

Anda boleh tersenyum ataupun tidak, melihat keluguan Mulla ini. Keluguan Mulla adalah ciri lain dari

keikhlasannya. Tidak hanya Mulla atau guru sufi lainnya tapi seperti begitulah cara kaum sufi menempatkan dirinya

sebagai makhluk Tuhan.

Dalam sebuah kesempatan kajian tasawuf positif seorang teman berucap sembari bergurau “Hanya ada satu hal yang

membedakan antara masyarakat manusia dengan komunitas primata – kera atau gorilla – ”, Apa itu ? humor. Humor

adalah ciri khas yang ada pada masyarakat manusia. Di belahan dunia ini kita bisa cari dimana atau apa ada yang

bisa membuktikan bahwa pada primata (kelompok kera atau gorilla) ada humor, yang kita saksikan hanyalah keseriusan.

Masyarakat gorilla adalah masyarakat tanpa canda dan tawa. Kalau anda masih bisa tertawa anda masih manusia?

Bagaimana kalau anda yang sering ditertawakan ? Nah, lanjut kawan saya , sama juga yang membedakan masyarakat awam

dengan kaum sufi – kalau sufi dianggap sebagai kelompok minoritas ditengah mayoritas Muslim awam - juga adanya

humor, yakni humor sufi.

Melalui humor kaum sufi bercerita tentang kisah-kisah yang tidak saja bisa mentertawakan diri sendiri tapi malah

mampu mentertawakan seluruh kehidupan ini.

Buat kaum sufi kehidupan ini adalah sejenis senda gurau, gurauan yang tidak saja memberitahukan akan makna-makna

kegenitan duniawi tapi juga berisi kejenakaan dan kesadaran diri yang ingin menyatu dengan-Nya.

Cerita sufi kadang-kadang menggelitik bahkan cenderung “nakal” tetapi kisah-kisahnya mengajarkan banyak kearifan.

Kearifan memang tidak harus disampaikan dengan kening berkerut, tapi bisa juga disampaikan melalui cerita jenaka.

Kejenakaan humor sufi tidak hanya dipenuhi dengan teori-teori kearifan (hikmah) teoritis, tetapi humor sufi lebih

banyak mengajarkan kearifan praktis yang muncul pada sebagian besar kisah-kisah sufi yang amat masyhur.

(Bersambung)

Ama Salman @2001


========================================================================


" Tasawuf sebagai Mazhab Cinta "

Menurut kisah, Hasan Al-Bashri sahabat karib Rabi’ah (meskipun dikisahkan meninggal lebih dari tujuh puluh tahun

sebelum kematian Rabi’ah ), mendesak Rabi’ah agar segera menikah, dan begitu juga yang lainnya. Mereka mendesak

agar memilih sesama sahabat sufi di kota itu. Atas desakan kuat itu Rabi’ah mengatakan, “Baiklah, aku akan menikah

dengan seseorang yang paling pintar diantara kalian semua”. Mereka mengajukan sekaligus mengatakan dengan sedikit

mendesak, “Hasan Al-Bashri itulah orangnya.”
Dengan diantar para sufi kemudian berangkatlah Hasan Al-Bashri menemui Rabi’ah untuk melamarnya. Lantas Rabi’ah

berkata kepadanya, “Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku bersedia menjadi istrimu.” Hasan Al-Bashri

berkata, “Bertanyalah dan jika Allah mengijinkan, aku akan menjawab pertanyaanmu.”
Pertanyaan pertama, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam

Islam atau murtad?”
Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”
Lalu ia mengajukan pertanyaan kedua, “Pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat malaikat Munkar dan Nakir

menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan juga menjawab, “Hanya Allah Yang Tahu.”
Lalu Rabi’ah memberikan pertanyaan selanjutnya, “Pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari

Perhitungan nanti semua akan menerima buku di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimana denganku, akankah aku

menerimanya di tangan kanan atau tangan kiriku?”

Maka Hasan hanya dapat menjawab, “Hanyalah Allah Yang Maha Mengetahui.”
Akhirnya Rabi’ah mengajukan pertanyaan terakhir, “Pada saat hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk

Surga (Jannah) dan sebagian kelompok lain akan masuk ke Neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan juga

menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu.
Selanjutnya Rabi’ah mengatakan kepada Hasan ,”Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaimana aku

harus bersuami yang kepadanya dan aku harus menghabiskan waktuku dengannya? Sedangkan dengan empat pertanyaanku

saja dia tidak bisa menjawab.”
Mendengar jawaban itu maka pergilah Hasan meninggalkan Rabi’ah menempuh jalan hidup (spiritual) sendiri-sendiri.
Sebagaimana kebanyakan cerita di dunia tasawuf, kita tak tahu bagaimana Hasan bisa bertemu dengan Rabi’ah. Yang

jelas riwayat
dialog di atas sebenarnya mencerminkan dua konsep tasawuf pada masa awal perkembangannya yang dilakoni oleh

tokohnya masing-masing.
Rabi’ah al-Adawiyah misalnya adalah seorang wanita sufi yang pertama kali menitikberatkan unsur cinta “Hub” di

dalam tasawuf bahkan menggarisbawahinya. Rabi’ah pernah berkata: “Uhibbuka hubbain”, aku mencintai Engkau karena

dua kecintaan. Satu kecintaan karena nafsu, dan kedua karena Engkau layak menerima cintaku.”
Sebagaimana mazhab fiqih, kalam & filsafat, juga ada banyak ajaran dan doktrin tasawuf yang berkembang, tapi

makhluk semacam apakah tasawuf itu? Tak ada kata yang paling sering disalahpahami selain tasawuf. Baik oleh

pembenci maupun pengamalnya. Tasawuf dibenci disamping karena tidak dipahami juga dianggap sebagai anti sains, anti

kemajuan. Sebagian orang malah berujar jika tasawuf datang, kemajuan akan hengkang. Memang, ada banyak definisi

tentang tasawuf.
Suhrawardi mengatakan, “Qawl (pendapat) para guru tasawuf tentang apa itu tasawuf lebih dari seribu banyaknya.”
Walaupun begitu banyak Suhrawardi menyebut beberapa definisi Tasawuf dari tokok-tokoh kenamaan dalam dunia tasawuf.

Abu Sa’id al-Kharraz (268 H) berkata, “Sufi adalah orang yang telah Allah bersihkan hatinya. Kemudian hatinya

dipenuhi cahaya. Ia masuk dalam hakikat kenikmatan dengan berzikir kepada Allah.”
Berkata Abdul Qadir Kilani: “Orang membersihkan lahir batinnya dengan mengikuti kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul-

Nya saw. Secara tidak langsung Basyar al-Hafi mengartikan tasawuf sebagai mengikuti sunnah Rasul, berkhidmat kepada

orang-orang saleh, memberi nasihat kepada saudara seagama, mencintai sahabat dan ahlil bait Nabi. Tanpa
penjelasan, definisi-definisi ini tidak bermanfaat apa-apa. Pada umumnya orang keliru memahami pengertian tasawuf

dengan zuhud dan ibadah; sufi dengan zahid dan ‘abid.
Sekarang ini tasawuf adalah nama tanpa realitas. Dahulu tasawuf adalah realitas tanpa nama, begitu kata Abul Hasan

Fusyanji. Tulisan
itu dikomentari oleh Hujwiri, “Pada jaman para sahabat Rasulullah dan para khalifahnya, nama tasawuf tidak ada,

tetapi realitasnya ada pada din setiap orang.

Saat ini nama itu ada tanpa realitas.” Itu diucapkannya pada abad ke-11, empat ratus tahun setelah Rasulullah

s.a.w. meninggal dunia. Kini mungkin sebagian orang masih menganggapnya relevan, dan sebagian lagi mungkin

menolaknya. Para penganut tasawuf misalnya masih beranggapan bahwa tasawuf masih tetap hidup, bergantung bagaimana

kita mendefinisikan tasawuf.

(bersambung)

Kontributor : Syamsu Dharma
(kampoengsufi, 10/06/2003)

Jumat, 04 Desember 2009

Pesan Imam Ali bin Abi Thalib (sa) untuk Penguasa

Setiap pemimpin akan dihadapkan pada dua kepentingan: kepentingan rakyat kecil dan kepentingan kaum elit. Lalu bagaimana cara mengatasi dua kepentingan tersebut? Mari kita perhatikan isi surat Imam Ali bin Abi Thalib (sa) kepada Malik Asytar An-Nakha’i. Malik Asytar adalah seorang gubernur di Mesir dan panglima perang pada masa kekhalifahannya.

Berikut ini salah satu bagian dari isi suratnya:
“Jadikan kesukaanmu yang sangat pada sesuatu yang paling dekat dengan kebenaran, paling luas dalam keadilan, dan paling meliputi kepuasaan bagi rakyat kecil. Sebab, kemarahan rakyat kecil mampu mengalahkan kepuasan kaum elit. Adapun kemarahan kaum elit dapat diabaikan dengan adanya kepuasan rakyat kecil.

Rakyat yang berasal dari kaum elit adalah paling berat membebani pemimpin Negara dalam masa kemakmuran; paling sedikit bantuannya di masa kesulitan; paling membenci keadilan; paling banyak tuntutannya, tapi paling sedikit rasa terima kasihnya bila diberi; paling lambat menerima alas an bila ditolak; dan paling sedikit kesabarannya bila berhadapan dengan bencana.

Adapun rakyat kecil, merekalah yang menjadi tiang agama dan kekuatan kaum muslimin. Karena itu, curahkan perhatianmu kepada mereka, dan arahkan kecenderunganmu kepada mereka.

Yang harus paling kaujauhkan dan kaubenci adalah orang yang paling bersemangat dalam mencari-cari kekurangan orang lain. Padahal setiap orang pasti memiliki kekurangan yang menjadi kewajiban seorang pemimpin negara untuk menutupinya. Maka janganlah kamu membongkar apa yang tak tampak bagimu, sedangkan kewajibanmu ialah membersihkan apa yang sudah jelas tampak bagimu. Dan Allah-lah yang akan memutuskan hal itu. Maka rahasiakanlah rahasia orang lain sedapat mungkin, niscaya Allah juga menutupi rahasia dirimu yang kau tidak ingin diketahui oleh rakyatmu.” (Nahjul Balaghah)

Syamsuri Rifai (Indonesia)
http://shalatdoa.blogspot.com